KIPO Breaking

PAPUA: DESEMBER KELABU

KIPOnews-Jayapura, Papua -  Sejak 1 Mei 1963, Tanah Papua secara politik dari sisi administrasi pemerintahan telah beralih kedudukannya dari Pemerintahan Netherlandsch Nieuw Guinea menjadi salah satu Provinsi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan nama Provinsi Irian Barat.
Keberadaan Provinsi Irian Barat sebagai bagian integral dari NKRI ditandai dengan lahirnya Undang Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1969 Tentang Pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat.
Proses administrasi pemerintahan secara langsung beralih dari Pemerintahan Netherlandsch Nieuw Guinea ke NKRI, dan penggunaan Bahasa Belanda dahulu diganti dengan Bahasa Indonesia. pegawai-pegawai instansi pemerintah seperti Dinas Pekerjaan Umum (DPU), Dinas Kesehatan, Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, Dinas Perhubungan, Rumah Sakit, Kepolisian dan sebagainya beralih dari pegawai Belanda menjadi pegawai Indonesia.
Bersamaan dengan itu, proses pendidikan di sekolah-sekolah juga berubah dari kurikulum Belanda menjadi kurikulum Indonesia dan awalnya memang banyak guru-guru didikan Belanda dahulu yang ikut menjadi tahanan-tahanan politik di sejumlah penjara-penjara yang dikuasai TNI Angkatan Darat maupun Angkatan Laut pada sekitar tahun 1969-1972. Juga sejumlah pegawai-pegawai instansi pemerintah, mantri, paramedis dan karyawan badan usaha swasta ketika itu, sempat menghuni penjara-penajar tersebut selama lebih dari tiga tahun.
Mereka sempat menghabiskan masa perayaan Natal dan tahun Baru pada tahun-tahun tersebut di balik jeruji besi alias penjara tanpa pernah diadili untuk mempertanggungjawabkan tuduhan yang ditimpakan negara kepada mereka.
“Jadi situasi di Tanah Papua sejak 1969 hingga 1972 itu memang sangat mencekam dan sebenarnya hingga dewasa ini jelang akhir tahun 2015 pun senantiasa kelam dan memilukan,” ujar Direktur Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH), Yan Cristian Warinusy kepada SP, Senin (7/12) pagi.
Warinusy adalah peraih Penghargaan Internasional di Bidang HAM "John Humphrey Freedom Award" Tahun 2005 dari Canada.
Kata dia, belakangan pada tahun 1999, Provinsi Irian Jaya yang dahulu bernama Irian Barat berganti namanya menjadi Provinsi Papua dan resmi disahkan dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Kemudian pada tahun 2003, terjadi peristiwa politik pemekaran Provinsi Papua menjadi 2 (dua) Provinsi, yaitu Provinsi Papua dan Papua Barat yang disahkan menjadi Provinsi yang juga menjadi objek dari pemberlakuan Undang Undang Otonomi Khusus tersebut berdasarkan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2008.
Sehingga sejak tahun 2003 hingga saat ini, di Tanah Papua Bumi Cenderawasih ini terdapat dua provinsi otonomi khusus, yaitu Provinsi Papua dengan ibukota di Jayapura dan Provinsi Papua Barat dengan ibukota di Manokwari.
“Selanjutnya pada hari-hari setiap jelang Natal 25 Desember di Tanah Papua sepanjang 10 tahun terakhir ini senantiasa tak pernah lepas dari adanya kekerasan yang mengakibatkan jatuhnya korban nyawa manusia tidak berdosa. Situasi keamanan di berbagai belahan Bumi Cenderawasih ini selalu terdengar ada penembakan yang diduga keras selalu dilakukan oleh aparat TNI atau Polri terhadap warga sipil tak bersenjata dan selalu sulit diungkapkan siapa pelakunya ? Atau siapa yang seharusnya bertanggung-jawab ? Atau institusi mana yang harus mempertanggung-jawabkan perbuatan/peristiwa tersebut ? “ujarnya
Kasus Lapangan Karel Gobay di Enarotali, Kabupaten Paniai - Provinsi Papua pada tanggal 8 Desember 2014, lima orang pelajar Orang Asli Papua (OAP) mati tertembak senjata aparat keamanan yang bertugas saat itu di sana.
“Sayangnya sampai hari ini belum ada penyelesaian secara hukum atas kasus yang menurut investigasi awal Komnas HAM sebagai institusi yang berkompeten secara hukum menurut Undang Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM dan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, “kata Warinusy.
Menurut hasil investigasi penyelidikan awal tersebut, Komnas HAM menyimpulkan dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud di dalam pasal 7 dan pasal 9 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.
Dikatakan, hingga saat ini, menjelang peringatan 67 Tahun Hari HAM Se-Dunia, tanggal 10 Desember 2005, KOMNAS HAM tidak bisa melanjutkan invetigasi HAM sebagaimana diatur di dalam pasal 18 dan pasal 19 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM tersebut.
Alasannya, Komnas HAM tidak memiliki dana untuk melakukan investigasi lanjutan kendatipun sudah dibentuk Tim Ad Hoc sesuai amanat pasal 18 ayat (2) dari Undang Undang Pengadilan HAM. Sementara itu, dewasa ini baru saja terjadi peristiwa-peristiwa penembakan warga sipil oleh aparat TNI/POLRI yang diduga keras mengandung indikasi dan dimensi pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Peristiwa tersebut terjadi di Wamena, Timika dan Kabupaten Kepulauan Yapen di Provinsi Papua.
“Namun sayangnya, lagi-lagi Pemerintah maupun institusi yang berkompeten seperti Komnas HAM tidak segera bertindak melakukan penyelidikan berdasarkan amanat aturan perundang-undangan yang berlaku,”ujarnya.
Sehingga segenap tindakan aparat keamanan TNI-Polri yang seringkali diduga keras melakukan tindakan penembakan dan atau pembunuhan secara kilat (summary execution) terhadap warga sipil Orang Asli Papua di atas tanah ini selalu tidak pernah tersentuh secara hukum (impunitas/impunity).
Mahal
“Bulan Desember setiap tahunnya dalam 10 tahun terakhir ini saja selalu tidak pernah menjadi bulan yang penuh berkat dan damai sebagaimana tersirat di dalam pesan-pesan Natal atau tema-tema Natal yang dikeluarkan oleh gereja-gereja di Indonesia dan di Tanah Papua. Seperti tidak nampak adanya kemampuan dari para pejabat tinggi militer dan polisi yang bertugas dan memiliki wewenang penuh di Tanah Papua untuk menghadirkan suasana nyaman, aman dan damai tersebut dari waktu ke waktu pada setiap bulan Desember, “ujarnya.
Saat di mana Umat Kristiani di Bumi Cenderawasih ini selalu mempersiapkan diri melalui empat minggu adventus (minggu penantian) sebelum memasuki Natal dengan harapan akan hadirnya kenyamanan, keamanan dan damai yang sangat "Mahal" harganya di Tanah Papua.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua, Ruben Magay menilai Pemerintah Pusat seolah tutup mata dalam melihat permasalahan yang dialami oleh orang asli Papua. Ia pun menganggap Negara mengabaikan kehidupan masyarakat Papua.
“Saya melihat negara seolah-olah hanya membangun kepercayaan kepada dunia luar, bahwa Indonesia sudah baik. Tapi faktanya di lapangan, negara tidak mengedepankan ketetapan-ketetapan yang sudah dibuat secara internasional,” kata Ruben Magai.
Ia mencontohkan upaya pembungkaman demokrasi ketika Papua menyuarakan dialog. Tak hanya itu, kasus Paniai berdarah yang hingga setahun lamanya, tak diselesaikan oleh Pemerintah Indonesia.
“Sejauh mana pertanggungjawaban negara terhadap pelanggaran HAM di Papua dan daerah laninya. Suatu saat negara ini akan pusing kerena tak mampu menyelesaikan masalah," kata Ruben.
Ruben pun menyakini suata saat Indonesia bakal dibawa ke Pengadilan HAM Internasional. Ditambah lagi, aparat penegak hukum tak diarahkan untuk mengembalikan nama baik negara. "Mereka pikir jika bertindak atas nama negara tak ada masalah, padahal itu akan dipertanggungjawabkan secara negara nantinya," ujarnya.
Ruben juga berpandangan bahwa masalah di Papua kini tak jadi pembahasan nasional, melainkan internasional. Untuk itu, pemerintah pusat harus membenahi masalah HAM di Papua, sehingga tak menjadi masalah kedepannya. “Pelanggaran HAM harus dibenahi, daripada malu nantinya,”ujarnya.
Suara Pembaruan

SOURCE: SUARAPEMBAHARUAN.com

Tidak ada komentar

close
Banner iklan disini